Oleh: Oktriyanto
Dalam Self
Determination Theory (SDT) Deci dan Ryan (dalam Pradana KA 2008), menekankan bahwa kondisi sosial dan lingkungan
di sekitar individu memiliki peran penting dalam memfasilitasi kekuatan
motivasi ataupun internalisasi motivasi dengan mendukung atau menghambat
kebutuhan dasar psikologis yang dibawa sejak lahir. Terpuaskannnya kebutuhan
dasar psikologis penting dalam perilaku pencapaian tujuan. Adapun tiga
kebutuhan dasar psikologis yang harus terpuaskan pada setiap individu adalah
sebagai berikut:
- Otonomi (autonomy) , adalah kebutuhan seseorang untuk bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan dengan diri pribadi tanpa terikat atau mendapat kontrol dari orang lain. Sementara itu, Steiberg (dalam Ali & Asrori ; 2004) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu: a). Kemandirian emosional (emotional autonomy), yaitu aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau orang tuanya. b).Kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy), yaitu suatu kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab. c). Kemandirian nilai (value autonomy), yaitu kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. Faktor-faktor seperti hadiah (reward) atau ancaman dapat menurunkan kebutuhan individu untuk berotonomi penuh pada tindakannya. Sedangkan kondisi seperti bebas menentukan pilihan atau mengetahui perasaan individu tersebut dapat meningkatkan kepuasan pada kebutuhan otonomi.
- Kompetensi (competence), adalah kebutuhan seseorang untuk memiliki suatu kekuatan untuk mengontrol dan menguasai tindakan yang dijalankan. Individu dapat memuaskan kebutuhan kompetensi jika ia merasa bertanggung jawab pada suatu tindakan yang kompeten. Suatu umpan balik yang positif (positive feedback) secara efektif dapat memuaskan kebutuhan individu untuk kompeten.
- Pertalian dengan orang lain (relatedness), adalah kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan tergabung, terhubung, dan kebersamaan dengan orang lain. Kondisi seperti pertalian yang kuat , hangat dan peduli dapat memuaskan kebutuhan untuk pertalian.
Kebutuhan dasar otonomi
menempati posisi unik diantara tiga kebutuhan dasar psikologis. Terpuaskannya
kebutuhan dasar kompetensi dan pertalian (relatedness)
sudah cukup untuk perilaku yang terkontrol , namun pemuasan kebutuhan dasar
otonomi penting dalam perilaku pencapaian tujuan untuk berkedaulatan diri dan
berbagai hasil lain yang maksimal. Tidak terpuaskannya tiga kebutuhan dasar
psikologis dapat menyebabkan menurunnnya motivasi seseorang untuk mengembangkan
dirinya, individu tersebut akan merasa tidak mampu untuk bertanggung jawab atau
mengerjakan suatu aktifitas (amotivation)
serta memiliki kecendrungan untuk mengalamai masalah kejiwaan.
Terpuaskannya kebutuhan dasar psikologis individu dari lingkungan sekitar dapat membuat individu mencapai fungsi diri yang sehat , perkembangan psikologis dan kesejahteraan (well being) (Deci & Ryan 2000 dalam Pradana KA 2008). Selain itu pemuasan tiga kebutuhan dasar psikologis dapat mengubah regulasi perilaku yang awalnya tidak termotivasi secara intrinsik ( terdapat pengaruh dari luar diri) dapat menjadi perilaku yang berdaulat seperti yang terdapat pada motivasi intrinsik , atau disebut sebagai internalisasi motivasi ekstrinsik. Untuk lebih jelas mengenai perubahan dalam motivasi ekstrinsik dapat dilihat seperti di bawah ini :
- Introjected regulation, dapat digambarkan sebagai penginternalisasian faktor ekstrinsik ke dalam diri individu namun masih sebagian, dimana sebuah penguatan perilaku masih termotivasi oleh suatu hadiah atau hukuman, namun penguatan (reinforcement) tersebut dibentuk sendiri oleh individu. Pada tahap internalisasi awal faktor ekstrinsik ini individu melakukan tindakan/ aktifitas karena merasa harus, bukan karena ia ingin melakukannya, sehingga dalam menjalankannnya sering kali diikuti oleh perasaan tertekan dan khawatir. Kontrol di dalam diri individu tersebut berkaitan dengan pengakuan diri (kebanggan) atau ancaman rasa bersalah dan malu, sehingga introjections regulation sering kali dijabarkan sebagai bentuk keterlibatan ego.
- Identified regulation, pada tingkat regulasi ini penginternalisasian motivasi ekstrisik lebih penuh jika dibandingkan dengan regulasi introjections, dan perilaku yang dilakukan lebih menjadi suatu bagian dari identitas diri. Regulasi yang terjadi pada tingkat ini berdasarkan dari identifikasi dimana iindividu mulai melihat suatu nilai (value) untuk dirinya sendiri dari sebuah aktifitas yang ia lakukan. Perilaku yang dihasilkan lebih berotonomi, namun perilaku tersebut masih termotivasi secara ekstrisik karena perilaku tersebut masih instrumental pendorong (contoh, olahraga untuk menjadi lebih sehat), dibandingkan dilakukan atas dasar spontanitas untuk kesenangan dan kepuasan pribadi. Tetapi karena diri (self) telah menyokong hal tersebut, regulasi ini akan bertambah jauh lebih baik/ lama dan terhubung dengan komitmen dan kemampuan yang tinggi.
- Integrated regulation. Tipe regulasi ini terjadi ketika seorang individu bukan hanya telah berhasil mengidentifikasi sebuah perilaku memiliki suatu hal yang berarti, namun juga telah dapat mengintegrasikan hal tersebut kedalam diri seorang individu. Maka, regulasi motivasi ektrinsik ini memiliki kebulatan tekad pada diri individu dalam menjalankan tindakannya. Meskipun bentuk penginternalisasian dari motivasi ekstrinsik pada tipe ini telah penuh dan berdaulat (seperti pada motivasi instrinsik), tetap berbeda dab tidak bisa menjadi motivasi instrinsik karena sumber pembentuk motivasi berasal dari luar diri individu.
Ryan dan Deci (dalam
Pradana KA 2008) menyatakan bahwa ketiga
proses tersebut dapat terjadi sebagai suatu proses tingkatan, namun mereka
tidak menyarankan bahwa proses- proses tersebut sebagai suatu perkembangan yang
berkelanjutan dimana seseorang individu harus melewati satu per satu tingkatan
penginternalisasian regulasi. Seorang individu mungkin telah dapat meregulasi
perilaku baru mereka pada suatu titik dalam tingkatan penginternalisasian tersebut berdasarkan
pengalaman sebelumnya dan kondisi yang sedang terjadi disekitar individu
tersebut.
Hubungan
dan Peran Orang Tua dan Prestasi Belajar Anak
Menurut Santrok (2007)
orangtua digambarkan sebagai manajer dalam kehidupan anak. Peran manajerial sangat
penting dalam perkembangan sosioemosional anak. Orangtua memainkan peranan
penting dalam membantu perkembangan anak dengan memulai kontak mata antara anak
dengan teman bermainnya yang potensial. Aspek penting lainnya, peran manajerial
dari orangtua adalah memantau secara efektif atas anak, misalnya pemantauan
atas pilihan anak tentang tempat sosial, aktivitas, dan teman. Peran Orang tua
dalam pembentukan motivasi dan penguasaan diri (self regulatory) anak sejak dini memberikan modal dasar bagi
kesuksesan dan prestasi akademik anak disekolah. Kualitas hubungan orangtua –
anak membentuk sikap otonom yang sehat , kompetensi dan hubungan (relatedness) dengan lingkungan sekitar
pada diri anak. Aspek-aspek positif pengembangan diri tersebut mendukung
internalisasi tujuan dan nilai-nilai masyarakat yang pada kelanjutannya dapat
menjadi salah satu faktor penentu dalam membentuk karakter kepribadian anak (Nurhidayah S. 2008).
Peran orang tua dalam pendidikan dapat dilihat dari dua model pendekatan. Pertama, orang tua dapat mendukung perkembangan intelektual dan kesuksesan akademik anak dengan memberi mereka kesempatan dan akses ke sumber – sumber pendidikan , seperti jenis sekolah yang dimasuki anak atau akses ke sumber sumber pendidikan lainnya seperti perpustakaan , perangkat audio visual , dan sebagainya. Kedua, orang tua dapat membantu perkembangan kecerdasan kognitif , afektif dan psikomotorik yang berpengaruh pada pencapaian prestasi akademik anak dengan cara terlibat langsung dalam aktifitas pendidikan mereka (Nurhidayah S. 2008).
Orang tua yang membimbing anak mengerjakan pekerjaan rumah, membacakan buku-buku tertentu kepada mereka dan memainkan permainan yang berhubungan dengan pendidikan cendrung memiliki anak yang lebih berprestasi disekolah. Orang tua juga dapat mengajarkan anak mengenal dan memahami norma-norma dalam berhubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya serta lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Finn (dalam Nurhidayah S 2008) mengidentifikasi bentuk peran orang tua di rumah yang berhubungan dengan prestasi belajar anak , yaitu:
- Secara
aktif mengatur dan memonitor waktu anak
- Membimbing
mereka dalam menyelesaikan pekerjaan rumah
- Mendiskusikan
masalah-masalah sekolah dengan anak.
Kebiasaan – kebiasaan
orang tua diyakini memiliki pengaruh langsung terhadap prestasi akademik anak
terutama dalam perkembangan kognitifnya yang merupakan modal dasar dalam meraih
prestasi belajar anak di sekolah. Misalnya orang tua dapat membantu anaknya
dalam mengembangkan kemampuan spesifik seperti strategi menghapal, kemampuan
memperkaya kosakata agar anak siap menghadapi kehidupan di sekolah.
Para ahli tumbuh kembang menekankan aspek kemampuan dasar anak yang perlu mendapat rangsangan. Kemampuan dasar tersebut adalah kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan berbahasa, serta kemampuan bersosialisasi (berinteraksi), kemandirian, kemampuan kognitif, kreativitas, dan moral-spiritual (Marlina, 2011). Masalahnya, orang tua khususnya ibu banyak yang tidak mengetahui hal ini sehingga stimulus pun absen diberikan saat mereka masih mengandung. Pun ketika sudah melahirkan, stimulus tampaknya masih merupakan hal yang asing. Sebenarnya orangtua dapat merangsang otak anak lewat interaksi dengannya. Hal ini bisa dicapai dengan metode mendengar, melihat, meniru, dan mengulang. Caranya bisa dengan rangsangan musik, suara, gerakan, perabaan, bicara, menyanyi, membaca, mencocokkan, membandingkan, memecahkan masalah, mencoret, menggambar, ataupun merangkai. Yang dirangsang sendiri adalah otak kanan, kiri, sensorik, motorik, kognitif, komunikasi-bahasa, sosio-emosional, kemandirian, dan kreativitas. Stimulasi dini dapat memengaruhi kualitas otak, yakni dengan memperbanyak dan memperkuat sinaps atau jaringan penghubung. Mengaktifkan daerah-daerah tertentu sehingga informasi dapat diproses lebih cepat dan kuat. Anak yang kurang stimulasi, maka sel-sel otaknya tidak mempunyai jaringan penghubung selamanya.
Sumber
:
- Ali Mohammad & Asrori Mohammad. 2004. Psikologi Remaja ; Perkembangan Peserta Didik. Bumi Aksara, Jakarta.
- Marlina Ina. 2011. Stimulasi Efektif Untuk Anak Usia Dini. Di download dari : http://kidzsmile.info/2011/02/stimulasi-efektif-untuk-anak-usia-dini-2/, pada tanggal 5 Januari 2013.
- Nurhidayah S. 2008. Pengaruh Ibu Bekerja dan Peran Ayah dalam Coparenting Terhadap Prestasi Belajar Anak. Jurnal Soul, Vol. 1, No. 2, September 2008
- Pradana KA. 2008. Dinamika Motivasi Mengakhiri Perilaku Merokok Pada Mantan Perokok Yang Pernah Mengalami Fase Relapse (Skripsi) . Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia.
- Santrok JW. 2007. Perkembangan Anak. Rahmawati Mila, Kuswati Anna, penerjemah; Hardani Wibi, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development, eleventh edition.